April 19, 2011

Istikhaarah: The Guidance Prayer

In The name of Allah,The Most Merciful,The Most gracious


As humans, we are truly powerless, especially when it comes to the unseen future. So why shouldn’t we turn to Allaah and seek His perfect help whenever we require it? Allaah responds to the call of His servant when he asks Him for guidance. After all, we are seeking to do something in order to please Him.

Istikhaarah means to ask Allah to guide you to the path best for you between two Islamically permissible options. In matters that are waajib (obligatory), haraam (forbidden) or makrooh (disliked) there is no need to pray Istikhaarah. Salaat-ul-Istikharah should only be used for matters that are mubaah (allowed) or in matters that are mustahabb (liked or encouraged), in which there is a decision to be made as to which one should be given priority.

Many wrong notions exist concerning Istikhaarah. Many Muslims will pray, read the supplication of Istikhaarah, and run to bed expecting to see a dream showing them their future husband, what her favourite colour is, and some other weird fantasy. That is not the purpose of this Salaat.

The results of an Istikhaarah can take many forms. Basically, you go by your feelings, whether you now feel more favourable or not. Also, you may notice events have changed, either for or against you. You then follow the results of the Istikhaarah, if you don’t then it tantamounts to rejecting Allah’s guidance once you’ve asked for it. Also, you should firstly clear your mind, not have your mind already decided, and then afterwards follow the results willingly.

How Is Salaatul-Istikhaarah Performed?

It is a SunnahWay/method/saying or deed of the Prophet Muhammad (peace be upon him). that, if one needs to choose between permissible alternatives, one should pray two non-obligatory Raka’aat (Units of Prayer), even if they are of the Sunnah prayers or a prayer for entering the Masjid and recite therein whatever one wishes of the Qur’an after reciting SurahA chapter/section of the Qur’aan. al-Faatihah. Then one should praise Allah and sends Salutations to the Prophet (peace be upon him) and recite the following supplication mentioned in the HadeethProphetic Narration (Prophetic Narration).

The description of Salaat-ul-Istikhaarah was narrated by Jaabir ibn ‘Abd-Allah as-Salami (may Allah be pleased with him) who said,

The Messenger of Allah used to teach his companions to make istikhaarah in all things, just as he used to teach them surahs from the Qur’an.

He said, ‘If any one of you is concerned about a decision he has to make, then let him pray two rak’ahs of non-obligatory prayer, then say:


istikh1

‘O Allah, I seek Your guidance [in making a choice] by virtue of Your knowledge, and I seek ability by virtue of Your power, and I ask You of Your great bounty.

You have power, I have none. And You know, I know not. You are the Knower of hidden things.

O Allah, if in Your knowledge, this matter (then it should be mentioned by name) is good for me both in this world and in the Hereafter (or: in my religion, my livelihood and my affairs), then ordain it for me, make it easy for me, and bless it for me.

And if in Your knowledge it is bad for me and for my religion, my livelihood and my affairs (or: for me both in this world and the next), then turn me away from it, [and turn it away from me], and ordain for me the good wherever it may be and make me pleased with it.”

The Prophet added that then the person should mention his need. [Saheeh al-Bukhaari]

Therefore, Salat-ul-Istikhaarah is just two raka’aat of a non-obligatory prayer, prayed at anytime during the day, with a specific supplication at the end. While reciting the du’a, you should be thinking about the situation you want to be advised about with pure intentions and from the bottom of your heart. Then remember that Allaah says that whenever he guides a heart aright it can never be misguided. Afterwards, you should ‘have a good feeling’ about one of your options. Whatever option you feel is best right after you say the du’aa should be your decision. If you’re still in doubt, you can repeat.

Imaam an-Nawawi (may Allah have mercy on him) wrote, “after performing the Istikhaarah, a person must do what he is wholeheartedly inclined to do and feels good about doing and should not insist on doing what he had desired to do before making the Istikhaarah. If his feelings change, he should leave what he had intended to do, otherwise he is not completely leaving the choice to Allah, and would not be honest in seeking aid from Allah’s power and knowledge. Sincerity in seeking Allah’s choice, means that one should completely leave what he himself had desired or determined.”

Some people mistakenly wait for a dream to give a clear sign as to what decision to make, but this is not true, and often times it never really happens. In fact, dreams may lead you away from what Allah wants you to do, as Shaytaan might try to deceive you in your dreams.

Salaat-ul-Istikhaarah is for everybody. It’s a way for all of us to implore Allah for divine guidance and mercy. It is yet another invaluable resource from Allah to keep us on the straight and narrow Siraat-ul-Mustaqeem. The Prophet (peace be upon him) guidance regarding the Istikhaarah is for all Muslims, not just the scholars. Despite this gift, too many of us take the advice of our friends and parents, or accept the norms of our society and act without ever wondering what Allah wants us to do. We must stop looking towards the creation for guidance, we must begin to consult Allah, the Creator.

I cannot provide a better conclusion than advising that you must put your trust in Allah. You must have trust in His concern for us, and His ability to help us. Allah says,

Put your trust in Allâh, certainly, Allâh loves those who put their trust (in Him). [Surah Al-Imran Ayah 159]

April 14, 2011

Menjadi Islam dengan Berfikir

oleh Hafiz Zainuddin

Tuhan, aku menghadap padamu bukan hanya di saat-saat aku cinta padamu, tapi juga di saat-saat aku tak cinta dan tidak mengerti tentang dirimu, di saat-saat aku seolah-olah mau memberontak terhadap kekuasaanmu. Dengan demikian Rabbi, aku berharap cintaku padamu akan pulih kembali. (Ahmad Wahib-Catatan Harian)

Saya mengenali Ahmad Wahib di sebuah petang yang mendung semasa berada di kompleks PKNS Shah Alam sekitar tahun 2008. Ketika itu saya melalui sebuah gerai buku. Leret mata liar saya tertumpu pada sebuah rak putih yang penuh dengan buku yang pada kulitnya tercetak kata-kata yang memukau “Tuhan bukan tempat terlarang bagi pemikiran”. Lantas saya memegang buku tersebut, membelek. Konon-kononnya ghairah. Buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam : Catatan Harian Ahmad Wahid saya miliki tanpa berfikir lama..

Ahmad Wahib yang melabelkan dirinya “bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis, bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis, bukan komunis…bukan humanis” telah pergi meninggalkan kita selama-lamanya pada sebuah malam di bulan Mac 1973. Beliau telah dilanggar oleh sebuah motorsikal dihadapan pejabat majalah Tempo tempat dimana beliau bekerja sebagai calon wartawan. Buku setebal 355 mukasurat ini asalnya merupakan helaian-helaian catatan harian Ahmad Wahib yang ‘diselamatkan’ teman akrab beliau sejurus beliau meninggal dunia. Bukan seperti catatan-catatan “diari sorang lelaki ” yang lain.

Buku ini telah terbit buat pertama kalinya pada tahun 1981 di Indonesia oleh Pustaka LP3ES. Edisi Bahasa Malaysia pula ialah pada tahun 2007 terbitan MEGC dengan kerjasama Konrad Adenaur Stiftung. Secara umumnya, saya mentakrifkan buku ini sebagai rangkulan pengalaman dan kesimpulan panjang idea-idea liberalisasi. Catatan-catatan ini memuatkan pandangan peribadi Ahmad Wahib yang kritis dan sinis sepanjang pergulatan beliau dengan teman-teman jemaahnya, masyarakatnya, budayanya, agamanya, tuhannya malah hampir seluruh hidupnya.

Pemikiran Luar Kotak

Catatan dari Jogjakarta oleh HA. Mukti Ali pada 1981 mengakui dalam Lingkaran Diskusi, Ahmad Wahib sering menimbulkan pendapat-pendapat yang tidak biasa didengar orang dan kebanyakan hal yang ditulis oleh beliau membuatkan orang akan ‘berkerut dahi’. Pemikiran beliau ‘di luar kotak’ atau ‘di luar jendela’ apa adanya. Mukti Ali mengakui pendapat dan pertanyaan almarhum Ahmad Wahib ini amat menggoda dan mengesankan fikiran kita. Benar kata Wahib “Saya ingin menjadi Muslim yang baik dengan selalu bertanya.”

Buku ini telah dibahagikan kepada empat bahagian utama. Perkara-perkara yang disentuh antara lain usaha beliau menjawab masalah yang timbul dalam ruang beragama, politik dan kebudayaan Indonesia, bidang keilmuan dan kemahasiswaan dan yang terakhir sedikit sebanyak menyentuh peribadi beliau yang sentiasa gelisah.

Adakah ‘tuhan itu takut kepada akal yang tuhan ciptakan sendiri?’
“Tuhan bersifat wujud bukan untuk kebal dari sorotan kritik. Sesungguhnya orang yang mengakui berTuhan tapi menolak berfikir secara bebas beerti menghina rasional kewujudan Tuhan.”- Ahmad Wahib

Pendapat almarhum Ahmad Wahib dalam soal agama dilihat sebagai pandangan yang tajam dan nakal. Beliau sering menyentuh soal yang dasar dan taboo justeru mengajak yang lain untuk berfikir. Kebebasan agama dilihat sebagai kebebasan berpendapat bukan untuk dibatasi. Yang mendasari untuk segala pendapat beliau, adakah ‘Tuhan itu takut kepada akal yang Tuhan ciptakan sendiri?’ Keberanian Wahib dalam melontarkan pendapat dan persoalan meletakkan beliau sebagai manusia jujur.

Catatan-catatan yang dihimpunkan dalam buku ini mempamerkan Wahib sebagai pemikir radikal penuh inpirasi dan provokatif. Soal ‘nilai baru dan lama’ diukur dengan pembaris waktu. Menurutnya lagi masyarakat Islam harus keluar dari kongkongan feqah.Bagi Wahib; pembinaan hukum dari al-Quran dan Sunnah melalui ijmak bukan lagi waktunya kerana individualisme semakin berleluasa. Wahib berpendapat bahawa hukum-hukum Islam itu berkembang apabila nilai-nilai dalam masyarakat itu berkembang yang pada beliau membawa erti hukum juga berubah.

Kekangan ‘eksklusivisme’ dalam Idea Pembaharuan Islam

Ahmad Wahib mahukan organisasi-organisasi Islam bersifat mendidik bukannya menghukum. Beliau menolak apa yang dipanggil “Ideologi Islam” kerana “Ideologi Islam” sama seperti ideologi-ideologi lain seperti sosialis, nasionalis maupun komunis. Pokok pangkalnya, idea Islam harus sentiasa berkembang selari dengan perkembangan umat, budaya dan bersifat universal.

Suatu hal yang menyedihkan apabila keberadaan beliau dalam HMI dipandang sebagai “jaringan golongan luar tertentu” dari Jawa Tengah yang dilabel sebagai heterogenitas yang keterlaluan. Sampai masanya, Wahib dan temannya Djohan meninggalkan HMI dengan meninggalkan kepilan ‘rasmi’ terakhir iaitu “Memorandum Pembaharuan dan Kekaderan”. Sifat rigid HMI dalam menerima dan menilai idea pembaharuan umat dilihat Wahib sebagai musuh kepada kebebasan berfikir dan bertentangan dengan Islam itu sendiri. Apatah lagi HMI masih kuat dengan pengaruh Masyumi yang dilihat cenderung menghukum dan bersifat formal.

Sarana Wahib dalam kehidupan peribadi beragama

Pada 18 November 1972 Ahmad Wahib telah menggariskan sebuah struktur umum dengan judul “Pembinaan Toleransi Beragama di Indonesia” berpokok pangkal dengan umat Islam Indonesia yang menetapkan beberapa poin utama iaitu mengenalpasti ‘sasaran toleransi’, mengenalpasti ‘sumber-sumber intoleransi’ dan ‘pembinaan toleransi beragama’. Seluruh dasar ini bertujuan mengarah kembali organisasi-organisasi agama agar merayakan perbezaan dan ‘menghormati hak pembinaan dan penerimaan rohani manusia yang bersifat peribadi’.

Kesenian, Kebudayaan, Intelektualisma dan kebekuan pemikiran umat

Selain itu Ahmad Wahib dilihat sangat berminat menyentuh berkenaan ketenteraan ABRI, demokrasi dan kaum intelektual Indonesia. Beliau banyak menyentuh dan memberi pendapat mengenai ‘kedudukan-posisi’ golongan intelektual ini sebelum dan selepas kemerdekaan, kedudukan kaum intelektual semasa dan pasca Soekarno, intelektual Muslim dan pertentangan yang timbul di antara golongan intelektual dan persekitaran lingkungan mereka.

Kebanyakan golongan intelek Muslim ini dilihat terikut dengan arus massa sehingga takut kehilangan pengikut. Musibahnya; umat Islam buta disebabkan kurang komunikasi yang mengakibatkan umat Islam menjadi terumbang-ambing, terlalu reaksioner dan dilihat streotaip. Untuk memperbaiki permasalahan yang dihadapi kaum intelektual Muslim ini; Wahib menyarankan agar mereka lebih banyak ‘hadir’ dalam banyak bidang dan meningkatkan “level of political culture” untuk membebaskan umat dari kelesuan dan kebekuan. Wahib cuba menyentuh sebanyak mungkin isu dan minat mendalamnya dalam agama, politik, kemasyarakatan maupun budaya. Beliau menjembatani antara kesenian dan sudut manusiawi.

Perjuangan dan Dakwah

Peribadi yang selalu gelisah dengan persoalan-persoalan dan kejujuran Ahmad Wahib dalam kritikan beliau terutama terhadap pemikiran golongan konservatif Islam jelas menunjukkan perjuangan beliau dalam membentuk gagasan-gagasan baharu yang bersifat rasional dan alami. Nama beliau lebih dikenali setelah meninggal dunia. Pemikiran beliau mencetus fenomena baharu dalam masyarakatnya. Walaupun penulis tidak menyamakan beliau dengan Djohan Effendy, Nurcholish Madjid maupun Abdulrahman Wahid; Apapun mereka antara orang yang merentas jalan liberalisasi dalam membudayakan ilmu dan agama. Pemergian Ahmad Wahib dalam pencariannya bukan noktah bagi anak-anak muda yang sehingga kini menjadikan catatan-cacatan beliau sebagai rujukan dalam meneruskan dakwah.

*Hafiz Zainuddin merupakan seorang penulis bebas